Sekilas Sejarah Singkat Implementasi UU Ketenagakerjaan Di Indonesia: Sejak Proklamasi 1945 Hingga Saat Ini

Idris Sardi
0

Liberalisasi ekonomi menghasilkan kelas sosial baru yang disebut buruh. Kemajuan teknologi melahirkan transformasi sosial masyarakat dan praktis membawa kantong industri baru dan pusat pertumbuhan ekonomi. Rangkaian proses transformasi sosial memiliki peran besar dalam menciptakan kesadaran kelas dalam struktur ekonomi masyarakat. 


Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Tenaga Kerja didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dan menerima upah (pasal 1 ayat 1a). Dalam perkembangan Hukum Perburuhan di Indonesia, berjuang untuk menggantikan buruh istilah dengan pekerja jangka, seperti yang diusulkan oleh pemerintah, Departemen Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia- Depnaker RI) pada Kongres Nasional Kedua Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) tahun 1985 .. Departemen Ketenagakerjaan kini berganti nama menjadi Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia ..


Dalam hal ini, pemerintah berpendapat bahwa istilah buruh tidak sesuai dengan kepribadian bangsa karena pekerja cenderung mengacu pada kelompok yang selalu tertindas dan berada di bawah pihak lain yaitu pemberi kerja / pemberi kerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan pasal 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kelompok adalah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan badan kolektif lainnya. Kemudian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 1 angka 4 yang dimaksud dengan pekerja / buruh adalah setiap orang bekerja dengan upah atau imbalan dalam bentuk apapun. 


Definisi ini relatif umum, namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja untuk siapa saja, baik perorangan, perkumpulan dengan badan hukum atau badan lainnya, menerima upah atau kompensasi dalam bentuk apapun. Menurut Husni (2000: 33-35), penegasan kata reward dalam bentuk apapun diperlukan karena upah sudah diidentikkan dengan uang, padahal ada pekerja / pekerja yang mendapat kompensasi berupa barang. Selanjutnya gambaran singkat mengenai sejarah pelaksanaan hukum ketenagakerjaan di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan tahun 1945 hingga sekarang adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Sekilas Sejarah Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan di Indonesia: Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga Sekarang
TidakGambaran Singkat Sejarah Penerapan UU Ketenagakerjaan di Indonesia
1Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1947 tentang Keselamatan Kerja dikeluarkan oleh pemerintah sementara di bawah Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Undang-undang ini bergeser menjadi sinyal pergeseran kebijakan ketenagakerjaan dasar dari negara baru ini, yang sebelumnya diatur dalam pasal 1601 dan 1603 BW yang cenderung liberal atau dipengaruhi oleh perkembangan mendasar dengan prinsip “no work no pay”.
2Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Perlindungan Pekerja, dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan. Undang-undang ini mencakup banyak aspek perlindungan bagi pekerja. Seperti larangan diskriminasi di tempat kerja, pemberian 40 jam kerja dan 6 hari kerja dalam seminggu, kewajiban perusahaan menyediakan fasilitas perumahan, larangan mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun, termasuk menjamin hak perempuan atas ambil cuti haid 2 hari sebulan dan cuti 3 bulan. Undang-undang ini bisa dibilang paling maju di kawasan Asia saat itu, yang kemudian menjadi dasar utama calon legislasi undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia.
3Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara serikat pekerja dan pengusaha yang benar-benar dirasa demokratis dalam ketentuan pasal-pasalnya
4Undang-undang tahun 1956 yang meratifikasi Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi sementara dijamin lebih lanjut memberikan status hukum serikat pekerja.
5Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
6Undang-Undang Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta yang memberikan perlindungan sangat kuat kepada pekerja atau pekerja dengan kewajiban meminta izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) untuk Pemutusan Hubungan Kerja.
7Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh telah mengubah sistem serikat pekerja di Indonesia. Dengan berlakunya undang-undang ini maka sistem serikat pekerja di Indonesia telah berubah dari Sistem Persatuan Tunggal menjadi Sistem Multi Serikat. Hal ini karena menurut UU No. 21/2000, setidaknya 10 pekerja bisa membentuk serikat pekerja di sebuah perusahaan. Meskipun sedikit menyimpang dari inti konvensi ILO no. 87 tapi UU No. 21/2000 mendorong demokratisasi tempat kerja melalui serikat pekerja / serikat buruh. Pekerja diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan kondisi kerja dan kondisi kerja. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang serikat pekerja memiliki nilai positif.
8Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pengganti UU No. 25/1997 yang diberlakukan tetapi tidak pernah efektif. UU No. 13/2003 juga memuat banyak masalah, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal satu dengan pasal lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum
9Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
10Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Pendanaan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diartikan bahwa terdapat 10 (sepuluh) undang-undang yang telah dibentuk sebagai landasan hukum terkait ketenagakerjaan di Indonesia: sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga sekarang. Namun berbagai permasalahan terkait ketenagakerjaan, khususnya buruh / pekerja, belum mendapatkan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan layak sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D. UUD 1945 Pasal 28D ayat 1, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan setara di hadapan hukum”; dan paragraf 2, "Setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan untuk menerima kompensasi dan perlakuan yang adil dan pantas dalam hubungan kerja".

Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Imelda Freddy (2020), hal-hal yang sering menjadi masalah bagi tenaga kerja Indonesia antara lain:

  1. Upah Tidak Sesuai Dengan UMP: Pemerintah menetapkan Upah Minimum Provinsi ( Upah Minimum Provinsi - UMP) yaitu standar upah sesuai dengan ketentuan masing-masing daerah. Masalah muncul ketika pemberi kerja memberikan upah di bawah standar kelayakan yang telah ditentukan. Di sisi lain, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum belum efektif. Pemerintah belum tegas dalam menjatuhkan sanksi dan membela kepentingan buruh.

  2. Sistem Outsourcing yang Tidak Adil dan Tidak Adil: Praktek outsourcing merupakan hal yang umum dalam realitas bisnis di Indonesia. Bagi pengusaha atau perusahaan, sistem kerja outsourcing dapat menekan biaya, sehingga harga produk dan jasa yang ditawarkan bisa lebih murah. Namun yang perlu diprioritaskan dari sistem ini sebenarnya adalah keadilan dan transparansi. Selama upahnya adil (sesuai UMP) dan sesuai dengan kesepakatan awal juga disertai dengan informasi tentang penerapan sistem kerja outsourcing pada posisi yang diajukan kepada calon tenaga kerja, maka tidak ada pihak yang dirugikan. .

  3. Perlindungan Sosial Pekerja belum maksimal: Jaminan kerja, kesehatan, keselamatan kerja, kecelakaan kerja, hari tua, dan lain-lain belum terpenuhi secara maksimal. Sosialisasi hak-hak pekerja belum maksimal dilakukan di Indonesia, sehingga masih banyak pekerja yang belum mengetahuinya. Pengusaha harus memenuhi kewajiban mereka. Pemerintah juga harus mengawasi dan memastikan penegakan hukum bagi pemberi kerja atau perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya pada Penyelenggara Jaminan Sosial atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.(BPJS), BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua skema perlindungan ini merupakan kebutuhan dasar para pekerja. Sistem pendaftaran juga telah disederhanakan dengan skema pembayaran yang tidak mahal. Seharusnya, dengan adanya BPJS, tidak ada pengusaha yang mangkir dalam memberikan perlindungan kepada pekerjanya.

  4. Distribusi Pekerja yang Tidak Merata: Masalah lainnya adalah distribusi pekerja yang tidak merata di Indonesia. Saat ini tenaga kerja di Indonesia sangat terkonsentrasi di pulau Jawa. Sementara daerah lain di luar Jawa kekurangan tenaga kerja. Dengan minimnya tenaga kerja, pembangunan di daerah terhambat. Ini juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Pemerintah lebih fokus pada pengembangan industri atau sektor unggulan daerah yang dapat menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal.

  5. Lemahnya Perlindungan Hukum bagi Pekerja Migran: Perlindungan hukum bagi buruh migran oleh pemerintah masih dipertanyakan karena belum optimal. Banyak pekerja migran Indonesia yang tersandung kasus hukum namun belum mendapatkan pendampingan dan perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia akibat masalah birokrasi dan diplomasi antar negara.

Kemudian, persoalan ketenagakerjaan akan semakin merepotkan jika RUU Omnibus Law “ Cipta Kerja ” disahkan oleh DPR RI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia - DPR RI. RUU tersebut dinilai berpotensi melanggar hak warga negara yang dijamin konstitusi karena untuk kepentingan investasi, hak buruh bersifat sekunder. Oleh karena itu, diperlukan upaya strategis yang komprehensif dan berkelanjutan untuk menyempurnakan hukum ketenagakerjaan di Indonesia dengan mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memuat pertimbangan, filosofis dan yuridis serta sosiologis. .

Tags:

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)