Produk peraturan perundang-undangan merupakan hal yang obyektif karena dibuat melalui proses dan persiapan teknis yang taat dan sesuai dengan kaidah hukum oleh lembaga perwakilan rakyat. Secara umum peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma-norma yang mengikat secara hukum dan ditetapkan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia seringkali memberikan ketidakpastian hukum, dampaknya adalah banyaknya regulasi yang tumpang tindih baik pada level hierarki yang sama maupun dengan regulasi di bawahnya. Ketidakjelasan hukum dalam berbagai undang-undang menjadi pendapat yang selama ini menjadi kendala dalam investasi. Sehingga Omnibus Law dianggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan investasi dan nantinya dapat mendongkrak perekonomian Nasional.
Menurut Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memuat Naskah Akademik yang memuat landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Tujuannya agar dapat mengetahui nilai, penghormatan, tujuan dan spesifikasi suatu undang-undang. Konsep omnibus law bertujuan untuk menyatukan hampir semua hukum yang terkait dengan bias nilai, penghormatan, tujuan dan spesifikasi suatu hukum dari suatu hukum. Dilihat dari sejarahnya, pada dasarnya undang-undang serupa dengan Omnibus law sudah ada di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria. dibuat sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, dan asas Negara Kesejahteraan Negara, untuk kesejahteraan masyarakat. dan dasar sosiologis.
Kemudian terkait dengan Omnibus Law Cipta Karya, dapat diartikan bahwa kecenderungan regulasi yang dibuat lebih mengutamakan investasi dan tidak memikirkan pekerja / buruh yang merupakan akar rumput (rakyat Indonesia) dan selalu bernasib merugikan. Hal ini sejalan dengan kerangka neoliberal bahwa pekerja diposisikan tidak lebih dari komoditas ekonomi yang siap diperjualbelikan dan kepentingan para investor ini menjadi pilihan yang paling rasional bagi pemerintah (Journal of Social Democracy Vol.10> 4> Januari - Maret 2011: 8). Menurut Marx (1968: 1867) dalam Hamann dan Bertels (2018: 396) menyatakan bahwa salah satu teori ketimpangan sosial yang paling berpengaruh adalah bahwa kelas kapitalis memiliki alat-alat produksi sehingga mampu mengeksploitasi tenaga kerja / pekerja. , terkait Omnibus Law tentang “Cipta Kerja" RUU tersebut, dapat diartikan bahwa kecenderungan regulasi yang dibuat adalah mengutamakan investasi dan tidak memikirkan pekerja / buruh yang merupakan akar rumput (orang Indonesia) dan selalu bernasib merugikan. Hal ini sejalan dengan kerangka neoliberal bahwa pekerja diposisikan tidak lebih dari komoditas ekonomi yang siap diperjualbelikan dan kepentingan para investor ini menjadi pilihan yang paling rasional bagi pemerintah (Journal of Social Democracy Vol.10> 4> Januari - Maret 2011: 8). Menurut Marx (1968: 1867) dalam Hamann dan Bertels (2018: 396) menyatakan bahwa salah satu teori ketimpangan sosial yang paling berpengaruh adalah bahwa kelas kapitalis memiliki alat-alat produksi sehingga mampu mengeksploitasi pekerja / buruh.
Selanjutnya, Kajian yuridis Omnibus Law menurut Indrati (2020) menyebutkan bahwa omnibus law ini lazim diterapkan di negara-negara yang menganut sistem common law. “Kalau omnibus law itu dilaksanakan justru akan menimbulkan masalah baru dalam sistem perumusan legislatif. Saya khawatir ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan menyulitkan kita semua. Apalagi, uji yuridis Omnibus Law”.
Menurut Pusat Studi Hukum ( Pusat Studi Hukum - PSH) Fakultas Hukum ( Fakultas Hukum- FH UII Yogyakarta (2020) menyatakan bahwa Omnibus Law merupakan suatu metode dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang belum dikenal di Indonesia karena konsep ini menekankan pada pemantapan berbagai tema, materi, pokok bahasan dan peraturan perundang-undangan di setiap sektor yang berbeda menjadi satu. produk hukum yang besar dan holistik. Selain itu, menurut PSH, Fakultas Hukum UII Yogyakarta (2020) bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memuat filosofis, yuridis dan sosiologis. Jika menelaah ketiga aspek di atas maka sivitas akademika FH UII Yogyakarta mencatat sebagai berikut:
Secara filosofis, spirit atau spirit di balik metode omnibus law dalam RUU Omnibus Law “ Cipta Karya ” semata-mata untuk kepentingan investasi, bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan.
Dari segi sosiologis, pertanyaan terbesarnya adalah apakah masyarakat kita membutuhkan undang-undang ini? Sivitas akademika FH UII memandangnya sebagai belum, atau setidaknya belum membutuhkan (apalagi jika terkait dengan kontennya yang cenderung mengutamakan investasi / kepentingan investor). RUU Omnibus Law Cipta Karya cenderung top down dan tidak bottom up dari masyarakat yang membutuhkan regulasi.
Berdasarkan hasil kajian para ahli, sivitas akademika FH UII Yogyakarta (2020) menyimpulkan bahwa: pertama, Omnibus Law “ Cipta Kerja" RUU tersebut memiliki masalah yang cukup serius dalam prosedur pembentukannya dan substansial. Masalah tata cara pembentukan dan substansinya berpotensi menyebabkan RUU tersebut bertentangan dengan konstitusi sehingga berpotensi melanggar hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi; kedua, permintaan dan tuntutan dari Pemerintah dan DPR RI untuk memperbaiki beberapa undang-undang sektoral, daripada membuat undang-undang dengan metode omnibus law yang belum terbukti berhasil di negara lain dan berpotensi merusak sistem hukum di Indonesia. Kemudian dalam proses penyusunannya, pemerintah terkesan tertutup, dan masyarakat mengetahui bahwa para pengusaha terlibat dalam penyaringan peraturan yang dipimpin oleh Kamar Dagang Indonesia atau Kadin. Alhasil, banyak artikel terkesan memprioritaskan kepentingannya.
Dengan demikian, RUU Omnibus Law “ Cipta Kerja ” dapat diartikan bahwa metode Omnibus Law tidak sejalan dengan UU No.12 Tahun 2011 UU No.15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ( Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan - UUP3), mengaburkan esensinya sebagai RUU baru (bukan perubahan), pada masalah materi, katanya, Omnibus Law Cipta Kerja RUU tersebut berpotensi mengurangi seluas-luasnya hak otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten / kota berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, serta mengurangi hak setiap orang untuk bekerja dan mendapatkan kompensasi. serta perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja berdasarkan Pasal 28D UUD 1945 dan lain-lain. RUU Omnibus Law Cipta Kerja lebih berbahaya dari pada manfaatnya jika dilihat dari aspek yuridis dan proses penyusunannya.