Hukum puasa Syawal yakni sunnah muakkadah, artinya puasa sunah yang sangat dianjurkan. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasululullah,
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun”(HR. Muslim).
Dalam riwayat tersebut dijelaskan bahwa menyelesaikan puasa Ramadhan dan dilanjutkan berpuasa sunah di bulan Syawal selama enam hari maka yang melakukan seperti berpuasa selama setahun.
Kemudian apakah puasa Syawal harus dilaksanakan berurut-turut?
Masih dikutip dari sumber yang sama, Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnah menjelaskan bahwa menurut pendapat Imam Ahmad, puasa Syawal boleh dilakukan secara berurutan, boleh pula tidak berurutan.
Dan tidaklah yang berurutan lebih utama daripada yang tidak berurutan.
Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, puasa Syawal lebih utama dilaksanakan secara berurutan sejak tanggal 2 Syawal hingga 7 Syawal.
Berdasarkan pendapat lain, yakni Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu mengatakan, puasa enam hari di bulan Syawal boleh dikerjakan secara terpisah-pisah atau tidak berurutan, tapi lebih afdal berurutan dan langsung setelah hari raya (dikerjakan tanggal 2 – 7 Syawal).
Jadi, tidak ada madzhab yang tidak memperbolehkan puasa ini di hari lain selain tanggal 2 sampai 7, yang penting masih berada di bulan Syawal.
Namun, hendaknya tidak berpuasa khusus di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu karena adanya larangan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.
Para ulama menjelaskan bahwa larangan itu menegaskan makruhnya puasa di hari Jum’at tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu.
Dalam melaksanakan puasa Syawal, hendaknya didahului dengan niat terlebih dahulu.
Niat puasa Syawal boleh dilafalkan di malam hari.
Namun boleh juga dilafalkan saat makan sahur, bahkan ketika pagi, karena merupakan puasa sunah.
Tata cara melaksanakan puasa Syawal:
1. Puasanya dilakukan selama enam hari dengan niat sebagai berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ هَذَا اليَوْمِ عَنْ أَدَاءِ سُنَّةِ الشَّوَّالِ لِلهِ تَعَالَ
“Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatis Syawwâli lillâhi ta‘âlâ.
Niat ini boleh dilakukan di malam hari, boleh dilakukan saat makan
sahur, bahkan boleh dilakukan ketika pagi karena ini merupakan puasa
sunnah.
2. Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
3. Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.
Namun, hendaknya tidak berpuasa khusus di hari Jum’at
tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu karena adanya
larangan Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Para ulama
menjelaskan bahwa larangan itu menegaskan makruhnya puasa di hari Jum’at
tanpa mengiringinya dengan puasa di hari Kamis atau Sabtu.
4. Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar
mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal
adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah
semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
“Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia
memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat
kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih
utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).
Begitu pula beliau mengatakan, “Siapa yang memulai
qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu dari puasa Syawal, lalu ia
menginginkan puasa enam hari di bulan Syawal setelah qodho’nya sempurna,
maka itu lebih baik. Inilah yang dimaksud dalam hadits yaitu bagi yang
menjalani ibadah puasa Ramadhan lalu mengikuti puasa enam hari di bulan
Syawal. Namun pahala puasa Syawal itu tidak bisa digapai jika menunaikan
qodho’ puasanya di bulan Syawal. Karena puasa enam hari di bulan Syawal
tetap harus dilakukan setelah qodho’ itu dilakukan.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 392).
sumber: TribunStyle, Bursa Sajadah